MAUMERE, KOMPAS — Tubuh orang Bajau bisa beradaptasi dalam kondisi kurang oksigen sehingga bisa menyelam hingga puluhan meter ke dalam laut tanpa bantuan alat pernapasan karena mereka memiliki variasi genetik yang spesifik. Namun, konsekuensi negatif terhadap kesehatan mereka ketika gaya hidup berubah tidak menyelam lagi perlu diteliti lebih jauh.
”Variasi genetik yang khas pada orang Bajau (Bajo) didapatkan karena leluhur mereka selama bergenerasi memiliki gaya hidup melakukan penyelaman di lautan,” kata ahli genetika dari Mochtar Riady Institute for Nanotechnology (MRIN), Herawati Supolo Sudoyo, di Maumere, Nusa Tenggara Timur, Rabu (19/7/2023).
Herawati dan tim saat ini tengah memeriksa sampel genetik dan kesehatan orang Bajau di Wuring, Kecamatan Alok Barat, Kabupaten Sikka. Penelitian meliputi mekanisme adaptasi orang Bajau terhadap kondisi kekurangan oksigen (hipoksia) dan implikasinya bagi kesehatan.
Penelitian sebelumnya oleh Melissa A Ilardo dari Centre for GeoGenetics University of Copenhagen dan tim di jurnal Cell pada tahun 2018 terhadap orang Bajau di Sulawesi Tenggara menemukan adanya seleksi khusus pada gen PDE10A. Gen ini meningkatkan ukuran limpa pada orang Bajau, memberi mereka reservoir sel darah merah teroksigenasi yang lebih besar.
Gen lain yang bervariasi di antara suku Bajau lebih dari rata-rata pada populasi umum dikaitkan dengan cara tubuh merespons penyelaman, yaitu BDKRB2. Salah satu gen tersebut menyebabkan darah bisa mengalir lebih efisien dari anggota tubuh dan area non-esensial tubuh sehingga otak, jantung, dan paru-paru dapat terus menerima oksigen. Manfaat lain dari gen ini adalah mencegah penumpukan karbon dioksida tingkat tinggi di dalam darah.
Variasi genetik yang khas pada orang Bajau (Bajo) didapatkan karena leluhur mereka selama bergenerasi memiliki gaya hidup melakukan penyelaman di lautan
Menurut Herawati, selain kemampuan menahan napas, tubuh orang Bajau juga telah beradaptasi terhadap besarnya tekanan massa air. ”Mereka menyelam tanpa alat sehingga tekanan yang dialami tubuh, termasuk telinga, pasti juga sangat besar. Selain itu, mata mereka kemungkinan juga beradaptasi terhadap kondisi minim cahaya di kedalaman air,” tuturnya.
Perubahan gaya hidup.
Saat ini sebagian orang Bajau telah mengalami perubahan gaya hidup, seperti terjadi di Kelurahan Wuring, Kecamatan Alok Barat, Kabupaten Sikka. Sekalipun masih ada yang menjalani hidup sebagai penyelam, frekuensinya sudah berkurang.
Banyak orang Bajau bekerja menangkap ikan dengan berbagai peralatan tangkap. Kalaupun menyelam, banyak yang menggunakan alat bantu kompresor. ”Yang masih menjadi penyelam tanpa alat kebanyakan berusia lanjut. Anak-anak muda banyak pakai kompresor dan itu justru banyak yang mengalami kecelakaan. Kalau alami lebih aman,” kata Dona Salong (59), nelayan Bajau dari Wuring.
Astuti Angke (76), penyelam Bajau, mengatakan masih menyelam tanpa alat bantu pernapasan untuk mencari teripang dan menombak hingga berusia 50-an tahun. ”Dulu saya maksimal bisa menyelam hingga 20 depa (sekitar 20 meter). Tapi, adik saya bisa jauh lebih dalam, hingga 30 depa atau lebih. Agar bisa turun hingga dasar, biasanya membawa pemberat, bisa dari batu atau tumah,” ujarnya.
Laporan Schagatay E dan Abrahamsson E di jurnal Human Evolution pada 2014 menyebutkan, orang Bajau rata-rata menghabiskan 60 persen dari waktu kerja harian di bawah air. Sementara itu, rekor penyelaman terdalam tercatat pada Agustus 2013 saat kompetisi menyelam yang diselenggarakan di kota Davao, Filipina, dalam kategori ”tanpa batas” oleh Jaringan Sosial Freediving Filipina dan Sinama untuk orang Sama dan Bajau Laut.
Perlombaan diikuti 18 kontestan, 12 orang di antaranya putra Bajau Laut. Semua pria di kompetisi ini bisa menyelam hingga 33 meter atau lebih. Penyelaman terdalam mencapai 79 meter dan waktu terlama yang dihabiskan di bawah air adalah 3 menit 1 detik. Orang yang finis kedua dalam kompetisi, Bajau Laut dari Matina Aplaya, menyelam hingga 73 meter hanya menggunakan sepasang kacamata kayu kecil.
Implikasi perubahan.
Herawati memaparkan, variasi genetik pada Bajau ini terbukti membantu mereka dalam kondisi hipoksia atau kekurangan oksigen saat menyelam di laut. ”Perlu diteliti lebih lanjut bagaimana implikasi dari varian genetik ini ketika gaya hidup Bajau berubah dan tidak lagi melakukan penyelaman, misalnya apakah bisa memicu risiko penyakit lain,” ungkapnya.
Sebagai contoh, adanya varian gen hemat (thrifty gene) pada genom mitokondria yang diduga muncul sebagai respons tubuh manusia saat masih hidup sebagai hidup pemburu dan meramu. Varian gen ini membantu melindungi saat kekurangan makanan sebelum mendapat hewan buruan. ”Namun, thrifty gene ini fungsinya berubah ketika ketersediaan makanan melimpah dan sekarang dikaitkan dengan meningkatnya risiko diabetes melitus,” ujarnya.
Contoh lain dialami masyarakat yang juga hidup dalam kondisi hipoksia di dataran tinggi. Studi Almaz A Aldashev dari National Center for Cardiology and Internal Medicine, Kirgistan, dan tim di American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine (2022) menunjukkan, populasi Kirgiz yang tinggal di lingkungan hipoksia karena berketinggian di atas 3.000 meter dari laut memiliki risiko kardiovaskular lebih tinggi.
”Mereka memiliki kadar hemoglobin lebih tinggi yang dibutuhkan untuk mengikat oksigen lebih. Namun, di sisi lain ternyata memiliki prevalensi HPH (high-altitude pulmonary hypertension failure) lebih tinggi,” kata Safarina G Malik, peneliti MRIN.