Picture1

Manifestasi Genetik Orang Bajau yang Bisa Menyelam Lebih Lama Diperiksa


MAUMERE, KOMPAS — Suku Bajau, yang tersebar di sejumlah negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, diketahui memiliki kemampuan menahan napas lebih lama di dalam air. Manifestasi genetik yang membuat orang Bajau memiliki kemampuan khusus ini diperiksa sebagai bagian dari pemeriksaan keragaman genom masyarakat Indonesia untuk mendukung kesehatan presisi.Pemeriksaan kesehatan dan pengambilan sampel genetik terhadap orang Bajau (Bajo) dari Desa Wuring, Kecamatan Alok Barat, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, dilakukan ahli genetika Herawati Supolo Sudoyo dan tim dari Mochtar Riady Institute for Nanotechnology (MRIN) pada Senin (17/7/2023).”Kalau dulu riset kami saat masih di Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman untuk mengetahui struktur populasi masyarakat di Indonesia, saat ini salah satu fokus penelitian kami lebih banyak tentang manifestasi genetik di populasi, salah satunya kami lakukan pada orang Bajau,” kata Herawati.

Kemampuan spesifik orang Bajau untuk bertahan lama di dalam air telah diwariskan dalam DNA mereka. Hal ini merupakan proses panjang adaptasi terhadap gaya hidup di lautan.Sebanyak 250 warga Bajau dewasa bakal diambil sampel genetiknya dalam sepekan ini. Selain darah, juga dilakukan pemeriksaan mata, pendengaran, paru-paru, gejala neurologi, kekuatan otot, termasuk bagaimana merespons sensitivitas rasa dan raba. ”Kami akan periksa secara rinci semua fungsi untuk melihat asosiasi dan frekuensi dari varian unik di populasi yang sehat. Diharapkan, dari pemeriksaan bisa ditemukan pola di setiap populasi,” katanya.


                                    
Pemeriksaan ini dilakukan di Klinik Agradece yang berada di dekat permukiman warga Bajau di Alok Barat. Dokter spesialis penyakit dalam di RSUD TC Hillers Maumere yang juga pemilik Klinik Agradece, Asep Purnama, mengatakan sangat senang bisa mendukung pemeriksaan kesehatan dan pengambilan sampel ini.

”Kami sangat senang mendukung pemeriksaan ini karena sekaligus bisa memberikan pemeriksaan dini kesehatan warga secara gratis. Sebagian pemeriksaan ini belum tersedia alatnya di Maumere, seperti pemeriksaan retina dan paru-paru. Namun, untuk pemeriksaan ini alat-alat didatangkan ke sini,” kata Asep.

Selain orang Bajau, menurut Herawati, pemeriksaan serupa telah dilakukan pada masyarakat dataran tinggi Dieng, di Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah; masyarakat Sangsit di Kabupaten Singaraja, Bali; serta masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan. Berikutnya pemeriksaan juga akan dilakukan di Papua.

Herawati mengatakan, riset yang dilakukan timnya fokus pada populasi yang sehat untuk mengetahui keragaman genom dan penyakit spesifik. ”Genomik untuk kedokteran presisi membutuhkan data ini. Data ini akan jadi dasar perhitungan prevalensi atau varian terkait penyakit, misalnya terkait diabetes atau kanker,” ujarnya.

Kekhasan orang Bajau.
Menurut Herawati, suku Bajau, yang dikenal sebagai ”pengembara laut” selama ini telah diketahui memiliki toleransi hipoksia yang tinggi. Mereka bisa melakukan penyelaman dengan menahan napas dalam waktu yang lebih lama.

Riset sebelumnya oleh Melissa A Ilardo dari Centre for GeoGenetics, University of Copenhagen dan tim di jurnal Cell pada 2018 terhadap orang Bajau di Sulawesi Tenggara telah menemukan adanya adaptasi fisik dan genetik yang membuat mereka mampu menahan napas lebih dari tiga menit di dalam air. Ilardo dan tim menemukan adanya seleksi khusus pada gen PDE10A. Gen ini meningkatkan ukuran limpa pada orang Bajau, memberi mereka reservoir sel darah merah teroksigenasi yang lebih besar.

Analisis DNA mengungkapkan perubahan lain yang ternyata menjadi salah satu variasi gen yang paling sering terjadi pada populasi Bajau. Ini ada dalam gen yang membantu mengontrol kadar hormon yang disebut T4, yang diproduksi oleh kelenjar tiroid.

Hormon ini menyebabkan peningkatan laju metabolisme, yaitu jumlah energi yang dapat digunakan tubuh dalam jangka waktu tertentu, yang dapat membantu mengatasi kadar oksigen yang rendah, selain juga berasosiasi dengan limpa yang lebih besar.

Gen lain yang bervariasi di antara suku Bajau lebih dari rata-rata pada populasi umum dikaitkan dengan cara tubuh merespons penyelaman, yaitu BDKRB2. Salah satu gen tersebut menyebabkan darah bisa mengalir lebih efisien dari anggota tubuh dan area non-esensial tubuh sehingga otak, jantung, dan paru-paru dapat terus menerima oksigen. Manfaat lain dari gen ini adalah mencegah penumpukan karbon dioksida tingkat tinggi di dalam darah.

Herawati mengatakan, temuan Melissa dan tim ini menunjukkan bahwa kemampuan spesifik orang Bajau untuk bertahan lama di dalam air telah diwariskan dalam DNA mereka. Hal ini merupakan proses panjang adaptasi terhadap gaya hidup di lautan. Selain menyelam lebih lama, orang Bajau juga diketahui bisa berjalan di dalam air.

Wahida (52), salah satu tokoh Bajau di Wuring, mengatakan, orang Bajau sejak kecil dibiasakan untuk hidup di lautan. ”Sejak umur 3-4 tahun sudah dilepas untuk berenang di laut. Kami berjalan di dalam air sebenarnya untuk mengambil kerang dan teripang yang ada di dasar,” ujarnya.

Menurut Wahida, sebagian orang Bajau di Wuring masih lahir di Pulau Selayar, Sulawesi Selatan, yang berpindah ke Wuring sejak 1970-an. Pada tahun 1992, desa mereka di Wuring dilanda gempa bumi dan tsunami dahsyat. Sekitar 2.500 orang di Maumere saat itu meninggal karena bencana ini dan Wuring termasuk yang paling terdampak parah.

Namun, menurut Wahida, sebagian besar korban yang selamat kembali ke Wuring. Bahkan, saat ini Wuring lebih padat dibandingkan dengan sebelum tsunami 1992 karena terus adanya penambahan jumlah rumah yang dibangun di atas perairan.

”Saat ini ada 866 keluarga atau 3.744 jiwa yang tinggal di Wuring. Sebagian besar orang Bajau. Hidup orang Bajau harus dekat dengan air, setelah tsunami sebenarnya dulu kami dipindahkan ke daratan, tapi sebagian besar kembali ke sini,” katanya.